Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemerdekaan Belajar di Era Education 4.0 dan Society 5.0

Teknologi terus maju untuk menciptakan peradaban yang lebih baik. Munculnya istilah "Education 4.0" menunjukkan sisi baru teknologi dalam pendidikan, sedangkan "Society 5.0" menekankan implementasi teknologi yang berpusat pada manusia. Era 5.0 menuntut manusia untuk beradaptasi dengan teknologi guna menciptakan peluang kreatif dan inovatif serta mengembangkan sumber daya manusia. Dalam konsep "Society 5.0", manusia berperan penting dalam mentransformasi big data menjadi kearifan baru yang meningkatkan kemampuan manusia dan membuka peluang bagi kemanusiaan demi kehidupan yang bermakna. (Haqqi & Wijayati, 2019; F. Nastiti & Abdu, 2020).

Untuk menghadapi era Education 4.0 dan Society 5.0, pendidik harus mengembangkan metode pembelajaran yang tidak hanya fokus pada kecerdasan kognitif dan teknologi, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai karakter, empati, dan toleransi. Selain itu, menciptakan lingkungan belajar yang membebaskan siswa untuk berpikir kritis, inovatif, dan kreatif sangatlah penting agar generasi masa depan dapat menyelaraskan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan semangat Education 4.0 dan Society 5.0, perlu menciptakan iklim pembelajaran yang memberikan kebebasan dan ruang bagi siswa untuk mandiri dalam belajar, sambil tetap menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa. Dengan pendekatan ini, siswa akan berkembang menjadi pembelajar mandiri, memiliki wawasan global, adaptif, kreatif, dan mampu mengatasi masalah yang kompleks.

Mengacu pada hal tersebut, ada 3 elemen penting yang perlu diperhatikan lebih lanjut terkait bagaimana kemerdekaan belajar itu diimplementasikan di era Education 4.0 dan Society 5.0 ini, yaitu:
1. Pembelajaran yang mandiri (independent),
2. Pembelajaran yang kontekstual, dan
3. Pembelajaran yang inovatif dalam membangun kreativitas.

Implementasi konkret dari kemerdekaan belajar pada masing-masing pembelajaran ini akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

Kemerdekaan Belajar dalam Pembelajaran Mandiri

Pembelajaran yang mandiri diharapkan akan dapat meningkatkan performa akademik, meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri, meningkatkan kesadaran akan batasan dan kemampuan yang dimiliki sehingga mudah mengelola beragam potensi, serta membangun lingkungan sosial yang lebih inklusif. Dalam pembelajaran mandiri, guru lebih memposisikan diri sebagai moderator dan fasilitator dalam proses pembelajaran yang dapat membangun tiga aspek kemampuan siswa, yaitu:
  1. Cognitive skills: misalnya mampu membuat hipotesis masalah, mengklasifikasi objek berdasarkan kriteria, mengkonstruksi cara berfikir untuk menyelesaikan masalah secara logis, dan lain-lain.
  2. Metacognitive skills: siswa mampu mendeskripsikan dan mengidentifikasi cara mereka belajar, seperti mendengar, mengingat, mengecek kebenaran pengetahuan, menulis, dan lain-lain.
  3. Affective skills: yakni keterampilan mengelola perasaan. Dalam hal ini, motivasi adalah atribut keterampilan afektif yang paling penting dalam pembelajaran independen.

Berikut adalah beberapa strategi pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru dalam pembelajaran mandiri:

  1. Guru secara progresif "mengalihkan tanggung jawab" pembelajaran kepada siswa. Pendekatan ini tidak menggunakan metode pengajaran "top-down," tetapi berdasarkan pada kebutuhan, keinginan, atau respon para siswa.
  2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan "pengawasan mandiri" (self-monitoring). Dalam hal ini, siswa dapat memberikan umpan balik kepada satu sama lain dan juga mengevaluasi kemajuan belajar mereka sendiri.
  3. Mendorong siswa untuk mengadopsi perilaku dari guru-guru mereka, seperti cara belajar dengan cepat dan efektif.
  4. Memberikan umpan balik terhadap pekerjaan rumah (PR) siswa.
Dengan menerapkan strategi-strategi ini, guru dapat mendukung siswa dalam mengembangkan kemandirian belajar mereka, sehingga siswa dapat mencapai potensi belajar mereka secara optimal.

Kemerdekaan Belajar dalam Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)

Kemerdekaan Belajar dalam Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah suatu konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan situasi nyata. Dalam CTL, penekanan diberikan pada keterlibatan penuh siswa dalam menemukan dan menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan pribadi mereka.

Dalam perkembangannya, CTL menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking/HOT), transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, analisis, dan sintesis informasi dari berbagai sumber dan perspektif. Konsep ini juga berfokus pada pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat pencapaian belajar peserta didik, yang dikenal juga dengan istilah "teaching at the right level" (TaRL). Dalam TaRL, pembelajaran dilakukan dengan memberikan materi pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan pemahaman peserta didik, dengan tujuan untuk memastikan bahwa setiap anak dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Dengan demikian, pendekatan pembelajaran berorientasi pada kompetensi ini memerlukan asesmen yang beragam dan dilakukan secara berkala untuk memastikan pencapaian tujuan pembelajaran setiap siswa.

Kemerdekaan Belajar dalam Pembelajaran yang Inovatif dalam Membangun
Kreativitas

Sangatlah krusial bagi setiap guru untuk memiliki keterampilan dalam memberikan pembelajaran yang inovatif guna membangun kreativitas siswa. Menurut Kalyani & Rajasekaran (2018), terdapat beberapa contoh metode yang dapat digunakan oleh guru untuk memberikan pengajaran yang inovatif dalam memperkuat kreativitas siswa, yaitu:
  1. Memanfaatkan alat bantu audio dan video (teknologi digital) sebagai sarana pembelajaran.
  2. Mengadakan sesi brainstorming untuk mendorong ide-ide kreatif dari siswa.
  3. Membawa pembelajaran keluar kelas, sehingga siswa dapat belajar dari pengalaman nyata.
  4. Menggunakan roleplay untuk merangsang kreativitas dan pemahaman siswa.
  5. Mendorong siswa untuk menemukan ide-ide baru melalui pendekatan eksplorasi.
  6. Menggunakan permainan (puzzle dan game) dalam pembelajaran untuk mengaktifkan daya pikir dan imajinasi siswa.
  7. Menceritakan cerita atau melakukan storytelling untuk menginspirasi imajinasi dan kreativitas siswa.
Secara keseluruhan, di era Education 4.0 dan Society 5.0 yang bertumpu pada teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, dunia pendidikan, terutama dalam pembelajaran, dihadapkan pada tantangan kompleks. Oleh karena itu, guru harus meningkatkan kompetensi mereka agar dapat beradaptasi dengan setiap perubahan yang terjadi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem digital yang mendorong pembelajaran yang merdeka, mandiri, kontekstual, dan inovatif. Selain itu, pendekatan ini juga berupaya membangun karakter siswa yang tidak hanya unggul dalam hal kognitif, tetapi juga dalam karakter, budaya, dan perilaku yang baik dan luhur.

Peran Teknologi Digital dalam Mendukung Terwujudnya Kemerdekaan Belajar

Teknologi digital memiliki peran sentral dalam membantu mewujudkan kemerdekaan belajar. Perubahan paradigma pembelajaran kini semakin terintegrasikan dengan berbagai variasi pemanfaatan teknologi digital mulai dari yang sederhana seperti digital text, audio, dan video, hingga yang lebih kompleks seperti Augmented Reality (AR), 3D printing, Hologram, dan berbagai tipe machine learning. Penggunaan berbagai macam teknologi digital ini perlu disesuaikan dengan lingkungan dan ekosistem tempat pembelajaran berlangsung agar hasilnya efektif, tepat guna, dan optimal sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada.

Teknologi digital tidak bertujuan untuk menggantikan peran guru, melainkan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam memfasilitasi pembelajaran melalui berbagai saluran dan media. Teknologi digital juga dapat membantu mengurangi beban administrasi di sekolah bagi para guru, sehingga mereka dapat lebih fokus meningkatkan kualitas belajar siswa.

Peran teknologi digital dalam pendidikan telah menginspirasi berbagai inovasi dan kreativitas di seluruh dunia. Teknologi digital menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem pembelajaran dan menjadi pendorong utama perubahan paradigma pendidikan di era Education 4.0 dan Society 5.0. Salah satu bentuk perubahan tersebut adalah hadirnya Pedagogi Digital Kritis (Critical Digital Pedagogy).

Pedagogi Digital Kritis adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada komunitas dan kolaborasi, terbuka terhadap perkembangan informasi yang beragam dan cara komunikasi melintasi batas-batas budaya dan politik. Pendekatan ini menggabungkan berbagai pandangan dan suara yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan pendidikan yang memerdekakan dan memberdayakan siswa dalam era digital ini, mengajari mereka bahasa teknologi, dan menawarkan peluang konektivitas manusia.

Penggunaan Pedagogi Digital Kritis dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa terkait lingkungan belajar. Guru dapat mendesain berbagai pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi digital untuk membuat materi lebih menarik, sehingga memacu siswa untuk lebih aktif dalam eksplorasi menggunakan berbagai media. Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan akan meningkatkan fokus dan konsentrasi siswa dalam proses belajar (high level engagement).

Contoh teknologi digital yang dapat digunakan dalam penerapan pedagogi digital kritis meliputi Learning Management System (LMS) seperti Moodle, berbagai platform media sosial, perangkat pembelajaran berbasis web, percetakan 3D, podcast, dan berbagai teknologi lainnya seperti artificial intelligence, augmented reality, hologram, dan robotika.

Dengan memanfaatkan beragam teknologi digital ini, diharapkan pembelajaran dapat menjadi lebih menyenangkan, interaktif, dan efektif. Kombinasi beragam pendekatan pembelajaran dengan teknologi digital dapat menciptakan pembelajaran yang inovatif, seperti flipped learning, project-based learning, mobile learning, remote learning, micro-learning, blended learning, dan hybrid learning.

Penerapan pedagogi digital kritis juga menekankan pada siswa sebagai pusat pembelajaran, kolaborasi, kemandirian, dan belajar sepanjang hayat. Dalam era Education 4.0 dan Society 5.0, lingkungan pendidikan harus terbuka dan berjejaring, bukan hanya sebagai tempat menyimpan konten, tetapi juga sebagai platform untuk melibatkan siswa dan guru sebagai agen perubahan yang merdeka, kontekstual, dan inovatif, serta membangun karakter dan kepribadian yang baik, luhur, dan unggul.

Referensi:

Haqqi, H., & Wijayati, H. (2019). Revolusi Industri 4.0 di Tengah Society 5.0: Sebuah Integrasi Ruang, Terobosan Teknologi, dan Transformasi Kehidupan di Era Disruptif. Yogyakarta: Quadrant. 

Kalyani, D., & Rajasekaran, K. (2018). Innovative Teaching and Learning. Journal of Applied and Advances Research, 3(Suppl. 1), S23-S25.