KAJIAN KONSEPTUAL MODERASI BERAGAMA
A. Pengertian dan Batasan Moderasi Beragama
Kata "moderasi" berasal dari Bahasa Latin "moderâtio," yang berarti ke-sedang-an, tidak berlebihan maupun kekurangan. Secara konkret, moderasi mencakup penguasaan diri dari sikap yang sangat ekstrem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua pengertian, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Jika seseorang disebut "bersikap moderat," itu berarti orang tersebut bersikap wajar, biasa, dan tidak ekstrem. Dalam bahasa Inggris, "moderation" sering diartikan sebagai rata-rata, inti, standar, atau non-aligned. Secara umum, moderasi menekankan keseimbangan dalam keyakinan, moral, dan watak, baik dalam berinteraksi dengan individu maupun institusi negara.
Dalam konteks bahasa Arab, moderasi dikenal sebagai "wasath" atau "wasathiyah," yang memiliki makna serupa dengan "tawassuth" (tengah-tengah), "i’tidal" (adil), dan "tawazun" (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah disebut "wasith," yang diartikan sebagai "pilihan terbaik." Istilah ini juga telah diserap dalam bahasa Indonesia sebagai kata "wasit," yang memiliki tiga pengertian: penengah, perantara dalam perdagangan atau bisnis, pelerai antara yang berselisih, dan pemimpin dalam pertandingan.
Menurut pakar bahasa Arab, "wasath" juga memiliki arti "segala yang baik sesuai dengan objeknya." Misalnya, kata "dermawan" menunjukkan sikap di antara kikir dan boros, sementara kata "pemberani" mencerminkan sikap di antara penakut dan nekad. Lawan kata dari moderasi adalah berlebihan atau "tatharruf" dalam bahasa Arab, yang mencakup makna ekstrem, radikal, dan berlebihan dalam bahasa Inggris.
Dalam konteks beragama, moderasi diartikan sebagai sikap yang selalu mengambil posisi di tengah-tengah antara pilihan ekstrem. Analoginya, moderasi adalah gerak yang menuju pusat atau sumbu (centripetal), sementara ekstremisme adalah gerak yang menjauhi pusat menuju sisi terluar (centrifugal). Dalam konteks beragama, moderasi berarti memilih sikap di tengah-tengah, adil, dan tidak ekstrem.
Untuk menentukan apakah suatu cara pandang, sikap, atau perilaku beragama tergolong moderat atau ekstrem, diperlukan ukuran, batasan, dan indikator. Ukuran tersebut dapat bersumber dari teks agama, konstitusi negara, kearifan lokal, serta konsensus dan kesepakatan bersama. Moderasi beragama didefinisikan sebagai sikap seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan terhadap praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan. Hal ini mencegah sikap ekstrem, fanatik, dan revolusioner dalam beragama.
Moderasi beragama merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan dalam masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Memilih moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci untuk menjaga keseimbangan, melindungi peradaban, dan menciptakan perdamaian. Dengan demikian, masyarakat multikultural seperti Indonesia memandang moderasi beragama bukan hanya sebagai pilihan, melainkan sebagai keharusan.
B. Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang
Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan di antara konsep-konsep berpasangan. Ini mencakup keseimbangan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, keharusan dan kesukarelaan, teks agama dan ijtihad tokoh agama, gagasan ideal dan kenyataan, serta masa lalu dan masa depan.
Inti dari moderasi beragama adalah memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep berpasangan tersebut dengan adil dan berimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "adil" diartikan sebagai tidak berat sebelah, berpihak kepada kebenaran, dan tidak sewenang-wenang. Kata "wasit," yang merujuk pada pemimpin pertandingan, dapat diartikan sebagai seseorang yang tidak berat sebelah dan selalu berpihak pada kebenaran.
Prinsip kedua, keseimbangan, menggambarkan cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan. Sikap seimbang tidak berarti tanpa pendapat, tetapi menunjukkan keberpihakan pada keadilan tanpa merampas hak orang lain.
Mohammad Hashim Kamali menjelaskan bahwa prinsip keseimbangan dan adil dalam moderasi (wasathiyah) berarti mencari titik temu dalam beragama, menghindari ekstremisme, dan menjadi esensi ajaran Islam yang sering dilupakan.
Moderasi bukan hanya ajaran Islam, tetapi juga ditemukan dalam agama lain. Moderasi mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan hubungan antarmanusia.
Adil dan berimbang akan lebih mudah terbentuk jika seseorang memiliki tiga karakter utama: kebijaksanaan, ketulusan, dan keberanian. Dengan sikap moderat, memilih jalan tengah, dapat diwujudkan dengan pengetahuan agama yang memadai, tahan godaan, dan keterbukaan terhadap pandangan lain.
Ada tiga syarat terpenuhnya sikap moderat dalam beragama: memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi, dan selalu berhati-hati. Dalam rumusan sederhana, moderasi beragama dapat dijelaskan dengan kata "berilmu, berbudi, dan berhati-hati."
Selain itu, beberapa sifat lain diperlukan sebagai prasyarat moderasi beragama, seperti pengetahuan komprehensif tentang ritual ibadah. Sikap terbuka dalam menghadapi keragaman dan perbedaan dapat diperoleh melalui pengetahuan agama yang memadai.
Dalam konteks negara, prinsip moderasi mempersatukan tokoh kemerdekaan dengan ragam agama, politik, dan kepentingan, mencari titik temu untuk menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama. Ini mencerminkan sikap toleran untuk menerima konsep negara-bangsa.
Ismail Raji al-Faruqi mengartikan berimbang (tawazun) sebagai sikap menghindari dua kutub ekstrem, mencari titik temu di tengah. Sikap berimbang mempertimbangkan kebahagiaan pribadi dan bersama, mengambil jalan tengah yang seimbang.
Dalam era informasi dan teknologi, prinsip adil dan berimbang dalam moderasi beragama dapat dijadikan nilai untuk mengelola informasi dan menghindari berita bohong. Moderasi beragama mengajarkan untuk berfikir bijaksana, tidak fanatik, dan tidak terobsesi buta pada satu pandangan keagamaan tanpa mempertimbangkan pandangan orang lain.
C. Landasan Moderasi dalam Tradisi Berbagai Agama
Setiap agama mengajarkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Maha Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini diwujudkan dalam kesiapan mengikuti petunjuk-Nya dalam kehidupan. Manusia menjadi hamba hanya bagi Tuhan, tidak menghamba kepada yang lain, dan juga tidak diperhambakan oleh yang lain.
Di sinilah esensi nilai keadilan antarmanusia sebagai sesama makhluk Tuhan. Manusia juga menjadi hamba Tuhan yang diberi mandat untuk memimpin dan mengelola bumi, sebagai makhluk yang diciptakan dengan keunggulan budi pikir. Bumi perlu dikelola agar tercipta kemaslahatan bersama. Inilah salah satu visi kehidupan terpenting dan terkuat yang diajarkan agama.
Karena keterbatasan manusia, maka bangsa dan negara menjadi konteks ruang lingkup tugas ini: bagaimana manusia mengelola bumi di mana ia tinggal, agar tercapai kemaslahatan bersama yaitu bangsa dan negara yang adil, makmur, dan sentosa. Kerangka pikir ini dapat ditemukan di setiap agama dalam bentuk keyakinan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari keimanan.
Keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan justru menjadi modal besar bagi kemaslahatan bangsa. Moderasi beragama menjadi muatan nilai dan praktik yang paling sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan bumi Indonesia. Sikap mental moderat, adil, dan berimbang menjadi kunci untuk mengelola keragaman kita. Dalam berkhidmat membangun bangsa dan negara, setiap warga Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk mengembangkan kehidupan bersama yang tenteram dan menentramkan. Bila ini dapat kita wujudkan, maka setiap warga negara dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus menjadi manusia yang menjalankan agama seutuhnya.
Seperti telah dikemukakan, ajaran untuk menjadi moderat bukanlah semata milik satu agama tertentu saja, melainkan ada dalam tradisi berbagai agama dan bahkan dalam peradaban dunia. Adil dan berimbang, yang telah dijelaskan sebelumnya, juga sangat dijunjung tinggi oleh semua ajaran agama. Tidak ada satu pun ajaran agama yang menganjurkan berbuat aniaya/zalim, atau mengajarkan sikap berlebihan.
Ajaran wasathiyah, seperti telah dijelaskan pengertiannya, adalah salah satu ciri dan esensi ajaran agama. Kata itu memiliki, setidaknya, tiga makna, yakni: pertama bermakna tengah-tengah; kedua bermakna adil; dan ketiga bermakna yang terbaik. Ketiga makna ini tidak berarti berdiri sendiri atau tidak saling berkaitan satu sama lain, karena sikap berada di tengah-tengah itu seringkali mencerminkan sikap adil dan pilihan terbaik.
Contoh yang mudah dicerna dalam kehidupan sehari-hari adalah kata “wasit”. Ia merupakan profesi seseorang yang menengahi sebuah permainan, yang dituntut untuk selalu berbuat adil dan memutuskan yang terbaik bagi para pihak. Contoh lain, kedermawanan itu baik, karena ia berada di tengah-tengah di antara keborosan dan kekikiran. Keberanian juga baik karena ia berada di tengah-tengah di antara rasa takut dan sikap nekad. Demikian seterusnya.
Dari sejumlah tafsiran, istilah “wasatha” berarti yang dipilih, yang terbaik, bersikap adil, rendah hati, moderat, istiqamah, mengikuti ajaran, tidak ekstrem, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan duniawi atau akhirat, juga tidak ekstrem dalam urusan spiritual atau jasmani, melainkan tetap seimbang di antara keduanya. Secara lebih terperinci, wasathiyah berarti sesuatu yang baik dan berada dalam posisi di antara dua kutub ekstrem. Oleh karena itu, ketika konsep wasathiyah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, ia akan menolak berbagai bentuk perilaku yang bersifat ekstrem atau berlebihan dalam berbagai aspek kehidupan.
D. Indikator Moderasi Beragama
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, moderasi dapat diibaratkan sebagai bandul jam yang bergerak dari pinggir dan selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), tidak pernah diam statis. Sikap moderat pada dasarnya merupakan keadaan dinamis, selalu bergerak, karena moderasi pada dasarnya adalah proses pergumulan terus-menerus dalam kehidupan masyarakat.
Sikap moderat dan moderasi dalam beragama senantiasa berkontestasi dengan nilai-nilai yang ada di sebelah kanan dan kiri. Oleh karena itu, pengukuran moderasi beragama harus dapat mencerminkan bagaimana kontestasi dan pergumulan nilai itu terjadi.
Analogi bandul jam ini dapat dijelaskan lebih lanjut: sikap keberagamaan seseorang sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu akal dan wahyu. Kebablasan dalam mengikuti akal dapat dianggap sebagai ekstrem kiri, yang sering kali mengakibatkan sikap mengabaikan teks. Sebaliknya, pemahaman literal terhadap teks agama dapat menghasilkan sikap konservatif jika diambil secara ekstrem, hanya menerima kebenaran mutlak suatu tafsir agama.
Individu yang moderat akan berusaha mengkompromikan kedua sisi tersebut. Mereka dapat menggunakan akal mereka dengan bijak tanpa ekstremisme. Mereka juga akan merujuk pada teks agama, namun dengan pemahaman kontekstual yang seimbang.
Namun, apa sajakah indikator moderasi beragama itu?
Sejumlah ukuran, batasan, dan indikator dapat dirumuskan untuk menentukan apakah suatu cara pandang, sikap, dan perilaku beragama dapat dianggap moderat atau sebaliknya, ekstrem. Untuk keperluan buku ini, indikator moderasi beragama yang digunakan mencakup empat hal, yaitu:
1. Komitmen Kebangsaan: Seberapa jauh cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang memengaruhi kesetiaannya terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, serta nasionalisme.
2. Toleransi: Sejauh mana seseorang memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, menyatakan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat, meskipun berbeda dengan keyakinan sendiri. Toleransi mencakup sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan, dengan disertai sikap hormat dan penerimaan terhadap orang yang berbeda.
3. Anti-Kekerasan: Sikap menentang kekerasan, baik itu verbal, fisik, maupun pikiran. Moderasi beragama tidak membenarkan penggunaan kekerasan atau ekstremisme dalam menyampaikan keyakinan.
4. Akomodatif terhadap Kebudayaan Lokal: Sejauh mana seseorang bersedia menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi, tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Keempat indikator ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di Indonesia, serta tingkat kerentanannya. Pengenalan terhadap kerentanan ini penting agar dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam penguatan moderasi beragama.
Komitmen kebangsaan menjadi indikator penting untuk menilai dampak cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang terhadap kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikap terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan Pancasila, serta nasionalisme. Komitmen kebangsaan merupakan bagian integral dari perspektif moderasi beragama, di mana mengamalkan ajaran agama dianggap setara dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
Toleransi, sebagai sikap memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, memiliki peran sentral dalam demokrasi. Toleransi mencerminkan sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan, serta disertai sikap hormat terhadap orang yang berbeda. Toleransi dalam konteks moderasi beragama mencakup toleransi antaragama dan toleransi intraagama, baik secara sosial maupun politik.
Anti-kekerasan menjadi indikator penting dalam menilai moderasi beragama. Sikap menentang kekerasan, baik dalam bentuk verbal, fisik, atau pikiran, adalah esensial dalam menjaga moderasi dan menghindari ekstremisme. Moderasi beragama menolak penggunaan kekerasan sebagai sarana untuk menyampaikan keyakinan atau mencapai tujuan tertentu.
Akomodatif terhadap kebudayaan lokal mencerminkan sejauh mana seseorang bersedia menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi, tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Praktik keberagamaan yang akomodatif terhadap budaya lokal menunjukkan kesediaan untuk menerima tradisi dan budaya dalam rangka menjalankan keyakinan, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.
Meskipun praktik keberagamaan yang akomodatif terhadap budaya lokal dapat mencerminkan kecenderungan umum, tetapi hal ini tidak secara mutlak menggambarkan tingkat moderasi seseorang. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa pandangan bahwa seseorang yang semakin akomodatif terhadap tradisi lokal akan semakin moderat dalam beragama masih memerlukan bukti lebih lanjut dan pemahaman yang mendalam.
Dengan merinci indikator moderasi beragama ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan terperinci tentang karakteristik moderasi beragama dalam konteks Indonesia. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan masyarakat yang berlandaskan moderasi, pengukuran dan pemahaman terhadap indikator-indikator ini menjadi langkah awal yang penting.
E. Moderasi di Antara Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan
Sebagian besar tulisan mengenai moderasi beragama sering kali hanya memusatkan perhatian pada penanganan konservatisme beragama atau yang dikenal sebagai ekstrem kanan. Pemahaman seperti ini menunjukkan pemahaman yang belum lengkap tentang moderasi beragama, karena sejatinya moderasi tidak hanya berfungsi sebagai penengah bagi mereka yang cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang sangat konservatif, tetapi juga untuk kelompok yang memiliki pandangan, sikap, dan perilaku beragama yang liberal, atau yang sering disebut sebagai ekstrem kiri.
Baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan adalah bagian dari gerakan sentrifugal yang bergerak dari sumbu tengah menuju salah satu sisi yang paling ekstrem. Mereka yang mengadopsi pandangan, sikap, dan perilaku beragama secara liberal cenderung secara ekstrem mengutamakan akal dalam menafsirkan ajaran agama, terkadang terlepas dari teksnya.
Di sisi lain, mereka yang berhenti pada sisi ekstrem lain akan memahami teks agama secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks. Moderasi beragama bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substansial di satu sisi, dan melakukan kontekstualisasi teks agama di sisi lain.
Contoh tafsir liberal yang dapat dikategorikan sebagai ekstrem kiri adalah pandangan beberapa sarjana Muslim yang menghalalkan hubungan seks di luar nikah. Meskipun tafsir ini didasarkan pada teks Alquran mengenai milk al-yamin (hamba sahaya/budak), penerapannya dalam konteks saat ini dianggap terlalu jauh dari maksud teks dan dianggap terlalu ekstrem karena tidak mempertimbangkan tradisi perbudakan yang sudah dihapuskan.
Sebaliknya, pandangan keagamaan yang mengadopsi pemahaman hitam-putih terhadap teks agama sering kali terjebak pada sisi ekstrem yang menilai pandangannya sendiri sebagai yang benar. Pandangan, sikap, dan perilaku ekstrem seperti ini dalam konteks beragama mendorong pengikutnya untuk menolak pandangan orang lain dan bersikeras pada tafsir kebenarannya sendiri. Hal ini menyebabkan munculnya istilah "garis keras," ekstrem, atau ekstremisme, yang terkait dengan praktik beragama yang sangat konservatif.
Salah satu ciri konservatisme awal seseorang dalam beragama adalah fanatisme terhadap satu tafsir keagamaan, menolak pandangan lain yang berbeda, bahkan mengecam dan berusaha menghilangkan keberadaan pandangan yang berbeda tersebut. Bagi mereka yang sangat konservatif, pandangan hitam putih dalam beragama memberikan keyakinan daripada menerima keragaman tafsir yang dianggap dapat menimbulkan kebingungan.
Karena itu, meskipun jumlah mereka merupakan minoritas, individu ultra konservatif yang ekstrem biasanya lebih terdengar dan lebih mampu menarik perhatian publik daripada individu moderat yang cenderung diam dan reflektif. Kemenangan kelompok ekstrem bukan karena jumlah mereka yang besar, melainkan karena mayoritas kaum moderat yang memilih untuk diam (silent majority).
Secara konseptual, pandangan, sikap, dan praktik keagamaan yang sangat konservatif sering kali berasal dari pandangan teosentris secara ekstrem dalam beragama, yang mengabaikan dimensi antroposentris. Pandangan teosentris ini mengajarkan penganutnya untuk mengartikan ibadah sebagai usaha "membahagiakan" Tuhan melalui sejumlah ritual ibadah, tanpa mempertimbangkan nilai dan fungsi agama bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Ada banyak alasan mengapa kelompok-kelompok ini menyebarkan ideologi ekstrem dan keras dalam beragama. Beberapa klaim bahwa tindakan mereka bertujuan untuk mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahyi munkar), atau mereka berusaha meluruskan pemahaman, sikap, dan perilaku umat beragama yang dianggap sesat. Sebagian lagi melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok ekstrem sebagai perlawanan terhadap kepemimpinan negara yang dianggap zalim dan melanggar ajaran agama (thogut), atau merasa terancam oleh ekspansi kelompok lain, termasuk oleh munculnya gerakan kelompok ekstrem liberal.
Ekstremisme dan kekerasan tidak pernah merupakan bagian dari esensi ajaran agama mana pun. Oleh karena itu, ideologi ekstrem tidak akan pernah memengaruhi mayoritas umat beragama, karena esensi agama pada dasarnya adalah merawat harkat dan martabat kemanusiaan dengan nilai-nilainya yang pasti diterima oleh mayoritas umat. Mereka yang mempromosikan pandangan dan ideologi ekstrem dalam beragama biasanya berkelompok dalam jumlah kecil, menghindari debat atau diskusi rasional, dan lebih memilih gerakan dan aksi radikal.
Yang membuat kelompok ekstrem radikal tampak lebih besar dari kenyataannya adalah karena suara dan pandangan keagamaannya yang mencolok di ruang publik, sering kali mencari perhatian melalui tindakan di luar kebiasaan dengan tujuan meraih simpati. Meskipun strategi ini mungkin membuat masyarakat merasa takut dan cemas, pada akhirnya, hal tersebut tidak akan berhasil. Dakwah Nabi dilakukan dengan penuh kasih sayang.
Untuk mencegahnya, konsolidasi kelompok beragama moderat harus diperkuat. Egoisme kelompok harus dihindari demi kepentingan harmoni yang lebih besar, dan agar ekstremisme keagamaan tidak semakin berkembang.
Dalam konteks sosio-politik Indonesia, selama hampir dua dekade, ekstremisme keagamaan menjadi perhatian semua pihak, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga sebagai fenomena global. Aksi kekerasan atas nama agama di beberapa negara telah menciptakan ketegangan, menimbulkan saling curiga terhadap kelompok agama tertentu sebagai sumber kekerasan.
Fenomena ekstremisme juga menjadi pengalaman pahit bagi Indonesia, dengan sejumlah aksi terorisme yang merenggut ratusan nyawa tak berdosa. Ekstremisme keagamaan yang disertai kekerasan memberikan citra yang kelam terhadap pesan keagamaan yang seharusnya damai bagi seluruh umat. Ini juga sangat memprihatinkan ketika dilihat dari perspektif kebangsaan yang secara kodrati majemuk.
Oleh karena itu, mengingat dampak buruk ekstremisme, baik dari ekstrem kiri maupun ekstrem kanan, visi moderasi beragama, yang telah dijelaskan secara konseptual di atas, menjadi suatu kebutuhan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, visi moderasi beragama sangat diperlukan karena, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu indikator moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan. Ini berarti tidak secara ekstrem memaksakan satu agama sebagai ideologi negara, tetapi juga tidak mencabut ruh dan nilai-nilai spiritual agama dari keseluruhan ideologi negara.
Moderasi beragama, yang menekankan praktik beragama secara moderat, dapat menjadi solusi untuk memperkuat internalisasi nilai-nilai moral spiritual agama dan menciptakan kehidupan beragama yang bebas dari kekerasan.